Monday, September 19, 2011

8 Kemungkaran di Hari Raya

Hari raya ‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.

Ketiga: Wanita berhias diri ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan firman Allah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab: 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8] Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak

Keempat: Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[9] Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.”[10]
Lihat pula bagaimana contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
"Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita."[11]

Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya 'ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”[12] Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama'ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]
‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”[14]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[15]
Adapun mengenai hukum shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.[16]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[17]

Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[22] Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27). Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]

Selengkapnya baca di sini:
http://rumaysho.com/belajar-islam/jalan-kebenaran/2707-kemungkaran-di-hari-raya.html

No comments:

Post a Comment